Desa Tradisional Sambori

Desa Sambori adalah sebuah desa tradisional yang didiami oleh suku asli Bima di lereng-lereng gunung Lambitu. Orang Sambori atau Dou Donggo Ele dianggap masyarakat yang paling lama mendiami daerah Bima.
Desa Tradisional Sambori
Masyarakat Sambori memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan orang Bima secara umum, termasuk pakaiannya. Laki-laki dewasa biasanya memakai ikat kepala (sambolo) berwarna hitam atau putih, baju tanpa kerah berwarna senada (baju mbolo wo’o), sarung hitam (tembe me’e), dan kain ikat pinggang (weri atau bala). Sedangkan perempuan dewasa, memakai baju poro me’e, sarung tembe me’e, kababu.

Masyarakat Sambori diperkirakan sekitar 800 orang. Orang Sambori rata-rata bekerja sebagai petani. Mereka memiliki ladang dan kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka memiliki rasa kekeluargaan, sukuisme, dan sifat gotong royong sangat erat. Kebiasaan masyarakat Sambori adalah mengunyah daun sirih yang dicampur dengan beberapa ramuan untuk melawan udara dingin.

Orang Sambori tinggal di Uma Lengge pada perkampungan yang dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan yang indah. Uma Lengge Sambori berbeda dengan Uma Lengge yang ada di tempat lain. Tingginya sekitar 6 - 7 meter dengan lebar sekitar 3 x 4 meter. Terdiri dari 3 daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi untuk para tetangga dan tamu.

Jika daun pintu pertama dan kedua ditutup berarti pemilik rumah sedang berpergian tidak jauh dari rumah. Tetapi jika ketiga pintu ditutup berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Ini merupakan kearifan lokal yang sudah ditunjukan oleh para leluhur suku Bima.

Orang Sambori mayoritas memeluk agama Islam. Agama Islam masuk ke dalam masyarakat Sambori melalui seorang ulama dari Ternate bernama “Syekh Subuh. Makam Syekh Subuh berada di atas puncak Gunung Sambori, yang dianggap sebagai kuburan keramat.

Click to comment