Desa Labuhan Mapin telah dicanangkan sebagai Desa Wisata Bahari Terpadu pada tahun 2012. Sejak dulu, Desa Labuhan Mapin telah dikenal sebagai tempat wisata yang cukup populer di Sumbawa, terutama ketika liburan hari besar.
Masyarakat dari kampung-kampung di sekitar Labuhan Mapin berbondong-bondong mendatangi pelabuhan untuk melihat atraksi budaya yang disuguhkan di sana. Desa ini berpotensi menjadi tempat singgah orang-orang yang lalu lalang dari/menuju Lombok - Sumbawa, termasuk wisatawan asing.
Desa Labuhan Mapin “dikepung” oleh pulau-pulau kecil yang menempatkannya seperti danau raksasa dengan perairan yang tenang, sehingga menjadi “rumah ikan” yang cukup nyaman. Nelayan pun tidak perlu melaut terlalu jauh hingga ke luar lingkaran pulau-pulau.
Di sebelah luar dua pulau panjang saling berhadapan dengan deretan hutan bakau. Di sebelah timur, terdapat gugusan pegunungan Rhee. Di sebelah barat, Gunung Rinjani di Pulau Lombok berdiri menjulang.
Mayoritas penduduk Labuhan Mapin adalah suku Bugis, Bajo dan Selayar. Pola perkampungannya terkonsentrasi dan membentuk pedukuhan sesuai dengan suku asal mereka. Para warga menggunakan bahasa ibu masing-masing, sehingga tidak jarang satu orang bisa menguasai berbagai bahasa daerah.
Masyarakat Bajo umumnya hidup sebagai nelayan dan sebagian lagi berladang di pulau-pulau kecil. Masyarakat Selayar hidup sebagai petani, peladang atau pegawai. Sementara masyarakat Bugis hidup sebagai pedagang atau pemilik bagang.
Selain ketiga suku di atas, juga terdapat suku Makassar, Bira, Mandar, Jawa, Madura, Lombok, Bima, Flores, bahkan etnis Arab dan Tionghoa yang telah berasimilasi di Desa Labuhan Mapin. Kehidupan sosial penduduknya sangat kompleks karena asimilasi budaya yang terdiri dari berbagai etnis.
Kehidupan tradisi dan kearifan lokal masyarakat cukup terjaga dengan baik. Setiap tahun diadakan upacara adat syukuran laut atau setelah perayaan Idul Fitri, masyarakat Selayar membuat ayunan raksasa dengan ritual tertentu setinggi 15 meter.
Masyarakat dari kampung-kampung di sekitar Labuhan Mapin berbondong-bondong mendatangi pelabuhan untuk melihat atraksi budaya yang disuguhkan di sana. Desa ini berpotensi menjadi tempat singgah orang-orang yang lalu lalang dari/menuju Lombok - Sumbawa, termasuk wisatawan asing.
Desa Labuhan Mapin “dikepung” oleh pulau-pulau kecil yang menempatkannya seperti danau raksasa dengan perairan yang tenang, sehingga menjadi “rumah ikan” yang cukup nyaman. Nelayan pun tidak perlu melaut terlalu jauh hingga ke luar lingkaran pulau-pulau.
Di sebelah luar dua pulau panjang saling berhadapan dengan deretan hutan bakau. Di sebelah timur, terdapat gugusan pegunungan Rhee. Di sebelah barat, Gunung Rinjani di Pulau Lombok berdiri menjulang.
Mayoritas penduduk Labuhan Mapin adalah suku Bugis, Bajo dan Selayar. Pola perkampungannya terkonsentrasi dan membentuk pedukuhan sesuai dengan suku asal mereka. Para warga menggunakan bahasa ibu masing-masing, sehingga tidak jarang satu orang bisa menguasai berbagai bahasa daerah.
Masyarakat Bajo umumnya hidup sebagai nelayan dan sebagian lagi berladang di pulau-pulau kecil. Masyarakat Selayar hidup sebagai petani, peladang atau pegawai. Sementara masyarakat Bugis hidup sebagai pedagang atau pemilik bagang.
Selain ketiga suku di atas, juga terdapat suku Makassar, Bira, Mandar, Jawa, Madura, Lombok, Bima, Flores, bahkan etnis Arab dan Tionghoa yang telah berasimilasi di Desa Labuhan Mapin. Kehidupan sosial penduduknya sangat kompleks karena asimilasi budaya yang terdiri dari berbagai etnis.
Kehidupan tradisi dan kearifan lokal masyarakat cukup terjaga dengan baik. Setiap tahun diadakan upacara adat syukuran laut atau setelah perayaan Idul Fitri, masyarakat Selayar membuat ayunan raksasa dengan ritual tertentu setinggi 15 meter.